Dikisahkan pada masa kolonial, VOC
menekan raja-raja di Sabu agar menyediakan budak bagi kepentingan VOC yang
berkedudukan di Kupang. Namun tekanan itu menghasilkan perlawanan bagi
masyarakat Sabu yang dipimpin oleh Rai Dimu. Puncaknya pada tahun 1674, rakyat
Dimu merampas isi sebuah kapal VOC yang terdampar di pantai dan seluruh awak
kapal dibunuh. Berita ini membuat pimpinan VOC yang bermarkas di Kupang geram,
maka setahun kemudian dikirimlah suatu ekspedisi untuk menghancurkan Dimu.
Sehingga terjadilah perang yang berlangsung sengit antar dua pihak, namun
perang sepertinya berakhirnya seri hingga VOC kemudian mengumumkan gencatan
senjata. VOC menuntut rakyat Dimu untuk membayar ganti rugi sebanyak 300 budak,
150 tahel emas dan 150 tahel muti salak dengan kesepakatan VOC akan
meninggalkan Pulau Sabu. Dalam realisasinya, Dimu hanya membayar 240 budak, 80
tahel emas dan muti salak.
Berangkat dari sepenggal cerita di
atas, perhiasan muti salak telah dikenal di Nusa Tenggara Timur sekitar abad ke-17 atau bahkan mungkin jauh sebelum itu. Muti salak
dianggap sangat berharga hingga VOC saja
menginginkan benda ini sebagai upeti selain budak, emas, perak dan hasil
bumi
lainnya. Benda ini sebenarnya adalah barang dagangan yang konon berasal
dari India dan di bawa
oleh bangsa Cina dengan barang
pecah belah lainnya untuk
dipertukarkan dengan kayu cendana.
Diceritakan bahwa kaum pribumi yang telah menunggu para pedagang Cina di
pantai-pantai Pulau Timor dengan membawa cendana dan lilin.
Cendana dan lilin tersebut ditukar dengan kain lenan putih, pisau,
parang,
mangkuk, piring dan muti salak.
Kini
mutisalak (beadstradisional) dengan warna khas oranye hingga merah gelap, telah menjadi perhiasaan
khas Nusa Tenggara Timur yang dikenakan di
leher sebagai kalung. Terbuat dari manik-manik tradisional antik sebesar biji
jagung yang dirangkai secara
sederhana. Manik-manik ini berasal dari batu alam berharga dari masa silam,
sehingga kini harga perhiasan ini begitu mahal. Namun ada juga argumentasi
bahwa perhiasan ini pernah dibuat di Eropa dan dibawa oleh para pedagang.
Bagi masyarakat tradisionalhampirdi
seluruh dunia,
menganggap perhiasan dengan bentuk manik-manik (beads)
sebagai bagian
dari budaya. Sebuah kalung manik-manik merepresentasikan keberagaman,
identitas dan kompleksitas dari material dan bentuk yang digunakan.Kepemilikan kalung muti salak bagi masyarakat NusaTenggaraTimur,
menunjukkankedudukan
danstatus dalam budaya, kekayaan keluarga, kemampuan ekonomi
dankeberhasilan dalam hidup denganmelihatjumlahkalungyang dimiliki. Kalung tradisional ini juga sering dijadikan belis
selainperhiasan dari emas dan perak, uang perak, hewan ternak,
dan uang.Saat
ini muti Salak menjadi
pusaka turun temurun yang nilainya sangat mahal. Kabarnya seuntai muti salak
sebanding denganharga
beberapa ekor ternak seperti kerbau atau sapi. Kini muti salak asli
menjadi barang yang langkah dan hanya dimiliki oleh keluarga
tertentu.
Muti salak
begitu femilier dipakai di daratan Timor, Rote, Sabu dan Sumba. Tidak hanya di
Nusa Tenggara Timur, di beberapa wilayah di Timur Indonesia juga mengenal
kalung muti salak. Muti salak merupakan salah satu ornamen
yang paling banyak di pakai
oleh perempuan pada
pehelatan pesta adat. Muti salak juga hampir selalu dijadikan sebagai
aksesoris pelengkap baju adat baik yang dikenakan oleh laki-laki
maupun perempuan. Bahkan anak
muda seperti di Kota Kupang acapkali menggunakan kalung ini sehari-hari.
Saat ini telah banyak beredar muti salak imitasi, dibuat
begitu mirip bahkan bagi orang awam tak mampu membedakan mana yang asli dan
mana yang tiruan. Sehingga hanya
orang yang paham benda
bersejarah ini yang mampu menilai
jenis dan bentuk muti salak yang
benar-benar asli
dan berharga tinggi dengan
muti salak biasa atau tiruan. Muti salak memang terdiri dari beberapa jenis dan
bentuk hingga juga dilengkapai dengan mata kalung atau juga sering disebut
dengan mainan.
Nama
muti salak dalam beberapa literatur disebut dengan muti sala, muti
salah atau juga dengan bahasa lokal anahida. Sedangkan dalam salah
satu situs perhiasan manik-manik bernama Beadazzled,yang bermarkas di
Amerika Serikat, disebutkan muti
salak sebagaiKalungNaga (Orange Beads), dengan banderol harga $225,00 per kalung
atau sekitar Rp. 2,2 juta.
Kini
muti salak imitatif sering dijual oleh para pedagang keliling dari Kupang
hingga di kota-kota kabupaten dan pelosok. Muti salak imitatif ini didatangkan
dari Denpasar dan dijual secara grosir dan eceran. Di Kota Kupang sendiri anda
dapat memilikinya dengan harga yang cukup murah mulai dari Rp. 50.000,-. Muti
salak memang tak sekemilau mutiara namun memiliki nilai historis dan budaya
yang tinggi.
Sumber: daonlontar.blogspot.com